Akuntansi Forensik Studi Kasus BLBI


AKUNTANSI FORENSIK
STUDI KASUS
BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)




PENGANTAR
Pemberantasan korupsi sering kali memberi kesan bahwa satu-satunya tujuan investigasi adalah menjebloskan pelaku ke penjara. Kesan lain adalah ketidakkonsistenan atau kebingungan siapa yang mau diseret ke meja hijau apakah kita mau menjebloskan pelaku ke penjara atau mau mendapatkan kembali kerugian yang telah diderita Negara, atau retorika, penjarakan dan sita hartanya? Ini semua berakhir dengan membebaskan pelakunya (bahkan memberinya kedudukan terhormat dalam sejarah pembangunan bangsa) dan membiarkan keluarga dan kroninya menikmati dan mewariskan harta Negara kepada anak-cucunya.
Kembali ke Indonesia, kita menemukan kisah bantuan untuk penyelamatan krisis keuangan 1997-1998, di antaranya berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BLBI merupakan studi kasus yang kami pilih sebagai tugas untuk mata kuliah Auditing III.
Kasus ini membahas cara akuntan forensik melakukan hitung-hitungan mengenai jumlah tuntutan (ganti rugi) kepada pihak lawan sampai penelusuran asset-asset yang diduga disembunyikan yang tujuan akhirnya adalah pada pemulihan kerugian (loss recovery), pemulihan asset terutama di bank (recovery of asset), atau dalam hal korupsi istilahnya pemulihan hasil korupsi (recovery of proceeds from corruption).



BANTUAN UNTUK PENYELAMATAN KRISIS KEUANGAN 1997
            Masyarakat umumnya mengenal BLBI sebagai bentuk penyelamatan krisis keuangan 1997-1998, BLBI memang dimaksudkan untuk hal itu, tetapi BLBI bukan satu-satunya bentuk penyelamatan krisis keuangan tersebut. Bantuan untuk penyelamatan krisis keuangan 1997 berjumlah Rp 647,129 miliar.
            Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998 telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan kebijakan yang diambil pemerintah waktu itu. Penyaluran BLBI paling banyak disorot Panitia Kerja (Panja BLBI) Komisi IX DPR RI, yang ditindaklanjuti dengan audit investigasi oleh BPK. BLBI menyangkut aliran dana yang sangat besar dan berdampak negatif atas pengelolaan keuangan negara pasca krisis.
            Pengetatan likuiditas yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi depresiasi rupiah memberikan dampak buruk bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, justru mengakibatkan keadaan yang sebenarnya.


Bantuan Untuk Penyelamatan Krisis Keuangan 1997
(dalam miliaran rupiah)

            BLBI
                        Bank Take Over                                                                                  57.639
                        Bank Beku Operasi                                                                             57687
                        Bank Beku Kegiatan Usaha                                                                 17.321
                        Bank Dalam Likuidasi                                                                         11.889
                        Jumlah BLBI                                                                                        144.536
           
            Obligasi Pemerintah
                        Bank Take Over                                                                                  118.810
                        Bank Rekap (bank swasta)                                                                  46.455
                        Bank Pemerintah                                                                                283.549
                        Jumlah Obligasi Pemerintah                                                              448.814

            Program Penjaminan
               Dengan otorisasi pengunaan dana:
                        BI                                                                                                         18.500
                        BPPN                                                                                                   35.279
                        Jumlah Program Penjaminan                                                             53.779

Jumlah bantuan untuk penyelamatan
Krisis keuangan 1997                                                                                      647.129

            Masyarakat menarik simpanan dari perbankan secara besar-besaran dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang sehat ke bank lain yang dianggap lebih sehat, Uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak dari Rp 24,9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp 37,5 triliun pada akhir Januari 1998, jumlah ini terus meningkat hingga puncaknya pada bulan Juli 1998 sebesar Rp 45,4 triliun.



1997                            1998
Total perbankan tanpa bank asing                                         376,8                           584,5
Utang luar negeri (valas)                                                        77,6                             95,7
Dana pihak ketiga dan utang luar negeri                               454,4                           680,2
Jumlah penyaluran BLBI                                                         48,8                             147,7

            Dengan kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada tanggal 6 februari 1999, posisi BLBI pada akhir Desember 1998 yang telah mencapai Rp 147,7 triliun direvisi menjadi Rp 144,54 triliun.
BLBI meliputi 15 jenis bantuan yang dapat digolongkan ke dalam lima kelompok fasilitas sebagai berikut :
1.      Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, yang disebut fasilitas diskonto (disingkat fasdis). Fasdis diberikan untuk jangka pendek (Fasdis I) dan yang berjangka lebih panjang (Fasdis II).
2.      Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter dalam bentuk SPBU lelang maupun bilateral.
3.      Fasilitas dalam rangka penyehatan bank (nursing atau rescue) dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL).
4.      Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan adanya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush) dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening bank di BI.
5.      Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana tabungan untuk membayar kewajiban yang timbul dari pelaksanaan janji Pemerintah memperhatkan kepentingan deposan, dimulai dengan deposan kecil dan kemudian keseluruhan deposan dan kreditur bank dalam sistem penjaminan menyeluruh (blanket guarantee) dan membayar kewajiban luar negeri bank dalam rangka perjanjian Frankfurt.
 
            Penyaluran BLBI dan penggunaannya oleh bank-bank penerima menimbulkan banyak kontroversi antara BI dan pemerintah. BI berpendapat, apabila BI tidak memberikan bantuan kepada perbankan, akan terjadi rush sebesar Rp 454,4 triliun dan Rp 680,2 triliun masing-masing pada akhir Desember 1997 dan 1998, melebihi jumlah BLBI, yaitu Rp 48.8 triliun dan Rp 147,7 triliun. Sementara Menteri Keuangan kala itu, Mar’ie Muhammad, berterus terang kepada Media Indonesia,   saya siap diperiksa bila dianggap bertanggung jawab dalam kasus itu “
            Para banker yang menikmati BLBI diminta menyelesaika kewajiban mereka. Ada tiga bentuk : Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan Jaminan Aset (Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA), Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan Jaminan Aset dan

Tim investigasi boleh kehilangan data. Tetapi apa yang terjadi jika kejaksaan atau polisi tidak memiliki data sebagai alat dan barang bukti? Kenyataan itu, kini dihadapi kejaksaan agung.penyelidikan dan penyidikan itu berjalan lambat, karena menurut jaksa agung Marzuki Darusman, mengalami kesulitan menemukan barang bukti. Sperti bukti-bukti transaksi, surat-surat keputusan, notulen rapat, termasuk disket dan database komputer
Dari hal tersebut lah, dimulai penyelidikan lebih lanjut, penyidikan, penuntutan, sampai proses pengadilan petinggi-petinggi BI dan Bank-Bank penerima BLBI. Bank Bali juga merupakan bagian dari upaya penyehatan perbankan. Dari hal ini juga, terjadi skandal dan proses pengadilan.
“Penyelesaian” di pengadilan membawa beraneka ragam hasil. Sebagian petinggi BI yang pernah menjadi gersangka mendapat hukuman penjara. Sebagian diantara mereka sempat mendapat keputusan bebas dari pengadilan tingkat mahkamah agung. Sebagian dari bankir yang pernah menjadi tersangka mendapat keputusan bebas, diantaranya ada yang mendapat hukuman penjara dari pengadilan dibawah tingkat mahkamah agung. Sebagian lagi melarikan diri keluar negeri sebelum di meja hijaukan : ada yang melarikan diri keluar negeri sesudah pengadilan menjatuhkan vonis. Konon katanya, ada yang meninggal dunia diluar negeri, ada juga yang kembali ke tanah air karena tertangkap FBI, dan ada yang menyerahkan diri setelah itu, bahkan ada yang sowan ke Istana.
Tiga mantan anggota direksi BI dituduh memberikan fasilitas pada Bank-bank tertentu yang mempunyai saldo debet dalam rekening mereka di BI bank-bank ini tidak dapat menyelesaikan saldo debet tersebut. Karena itu, mereka seharusnya dikenakan sanksi penghentian ( Sementara) dari kliring. Bank bermasalah ini justru mendapat kucuran BLBI pengadilan negeri menjatuhkan hukuman penjara kepada mantan anggota direksi BI yang berkisar antara 2,5 – 3 Tahun
Pengadilan Tinggi memutuskan membebaskan mereka dari semua tuntutan. Majelis hakim berpendapat bahwa sekalipun perbuatan yang dituduhkan kepada mantan anggota Direksi BI ituterbukti,tetapi mereka tidak dapat dihukum karena mereka sekedar menjalankan kebijakan negara. Proses pengadilan yang dimulai Februari 2003, berakhir di Mahkamah Agung pada pertengahan Juni 2005. Ketiga nya dijatuhi hukuman penjara 1 ½ tahun. Juru bicara Kejaksaan Agung. Mashudi Ridwan, menyatakan banyak pejabat BI yang terlibat. Jika baru 3 yang masuk bui, kata Mashudi, karena mereka di anggap yang paling bertanggung jawab. “Kalau diambil semua, BI bisa tutup,”katanya.”
Penanganan perkara korupsi oleh pihak kejaksaan tidak menunjukan kemajuan yang signifikan. Hingga awal 2004, proses penanganan kasus BLBI adalah sebagai berikut.
Tahap
Jumlah Perkara
Penyelidikan
27
Penyidikan
13
SP3
2
Pengadilan
16
TOTAL
58


Belum tuntasnya penanganan kasus BLBI diperburuk dengan banyaknya pelaku yang melarikan diri ke luar negeri, baik ketika dalam status tersangka maupun terdakwa. Ada pelaku yang berhasil kabur ke luar negeri ketika proses hukum masih berjalan, dan ada yang telah dijatuhi vonis penjara. Mereka adalah :
Perkiraan kerugian Negara
No
Nama
Kasus BLBI

Rp Milyar

US $ Juta
Tempat pelarian
1
Sjamsul Nursalim
BDNI
6,926
96,7
Singapura
2
Bambang Sutrisno
Bank Surya
1,500

Singapura
3
Andrian Kiki Ariawan
Bank Surya
1,500

Sngapura
4
Hendra Raharja*
BHS
305
2,3
Australia
5
Eko Adi Putranto
BHS
1,950

Tidak Jelas
6
Sherny Konjongiang
BHS
1,950

Tidak Jelas
7
David Nusa Wijaya
Bank Sertivia
1,290

Tidak Jelas
8
Samadikun Hartono
Bank Modern
169

Tidak Jelas
9
Agus Anwar**
Bank Pelita
1,980

Singapura

*meninggal dunia
**menjadi warga Negara Singapura
Pada akhir masa tugas BPPN tanggal 30 April 2001, dari 46 pemegang saham (PKPS), 17 dinyatakan tidak atau belum selesai. Sementara itu, 29 lainnya dinyatakan sudah selesai. Mereka yang status nya tidak selesai inilah yang kemudian dilimpahkan penanganannya ke Tim Pemberesan (TP) BPPN.


David Nusa Wijaya masuk ke Amerika Serikat pada tanggal 29 Desember 2005 menggunakan paspor Indonesia dengan nama Ng Tjuen Wey. Berdasarkan “Red Notice” Interpol memang terdapat nama David Nusa Wijaya alias Ng Tjuen Wey mengetahui hal ini, pihak Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat mencegat David saat meninggalkan San Francisco pada 14 Januari 2006. Pihak FBI menanyai David apakah dirinya memiliki kasur pidana di Indonesia. David pun berdusta dengan mengatakan tidak memilki kasus pidana.
Dengan berdusta itu, David melanggar US Code 1546 artikel 18. Ancaman hukuman nya 5 Tahun penjara.
Selanjutnya, melalui interpol dan FBI, Polri mendapat kabar mengenai penahanan David di Negeri Uwak sam itu. Kemudian, Polri mengirimkan Petrus Golose kesan Francisco.
Indonesia dan Amerika Serikat tidak mempunyai perjanjian ekstradisi. Sehingga, terpidana David memilik 2 pilihan seperti ditawarkan FBI. Pertama, David menjalani hukuman di Amerika Serikat untuk pelanggaran berdusta. Kedua, David menjalani proses hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. David memilih untuk kembali ke tanah air. Meski telah mendapat jawaban dari David, Polri tak mau mengambil risiko David berubah pikiran waktu itu tidak ada penerbangan langsung dari Amerika Serikat ke Indonesia. Dipilih lah maskapai penerbangan Thai Airways dari Amerika Serikat ke Bangkok karena alasan nya, ada perjanjian ekstradisi antara pemerintah Thailand dengan RI kalaupun David berubah pikiran, terpidana itu dapat dengan mudah di ekstradisi ke Indonesia
Sumber : Kompas Cyber Media, 18 Januari 2006
Secara kebetulan, seorang debitur yang melarikan diri keluar Negeri kembali ke tanah air. Secara singkat, pers melaporkan :


Kedatangan David Nusa Wijaya tidak lama kemudian diikuti dengan penyerahan diri Atang Latif. Di bawah judul “Pengutang BLBI menyerahkan diri”, tempo interaktif. Menurunkan berita berikut.

Pengutang BLBI Menyerahkan Diri
Atang Latif, mantan komisaris utama PT Bank Dira yang melarikan dana bantuan Likuiditas Ban Indonesia sebesar Rp 170 Milyar, menyerahkan dri. Ia tiba di Jakarta dari Singapura, Jumat, 27 Januari 2006 pukul 11.00 WIB. Dia dijemput oleh wakil direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Komisaris Besar Polisi Benni Mamoto.
Kepala Polri Jenderal Sutanto mengatakan, setelah tiba di Indonesia Atang berjanji akan melaksanakan kewajibannya melunasi dana BLBI. “Dia sanggup membayar sisanya, Rp 170 Milyar, ” kata Susanto di Jakarta, jumat.
Menurut Sutanto Bank Dira yang dipimpin Atang Latif menerima kucuran dana BLBI pada 1999 sbesar Rp 325 Milyar. Kemudian pada tahun 2000 Atang membayar sebesar Rp 155 Milyar.
“Atang khawatir proses hukum yang akan dia jalani akan berjalan tidak adil, “kata Sutanto Atang Latif, 83 Tahun, saat ini dalam status pengawasan polisi. Mantan komisaris PT Bank Indonesia Raya itu tidak ditahan, karena tidak sedang dalam proses hukum.
“Beliau (Atang Latif), bukan tersngka, terpidana, ataupun terdakwa, tapi orang bebas, “Kata juru bicara Mabes Polri Brigadir Gendral Polisi Anton Bachrul Alam kepada wartawan hari ini di Jakarta.
Meski demikian, menurut Anton, Atang mempunyai kewajiban kepada Negara untuk mengembalikan dana BLBI yang pernah d kucurkan ke Bank yang dia pimpin. Pengawasan akan dilakukan sampai Atang mengembalikan seluruh kewajibannya.
Proses Atang selanjutnya, menurut Anton, Akan diserahkan kepihak pengelola dana BLBI. Polri akan berkoordinasi dengan Departement Keuangan yang mengingat pengelola BLBI, yakni BPPN, sudah bubar.
Lukman Astanto, Menantu sekaligus juru bicara Atang Latif, mengatakan bahwa sudah sejak tahun 2004 mertuanya ingin kembali ke Indonesia. Namun, dengan alasan kesehatan, naru tahun 2005 pihak keluarga menyatakan keingian tersebut melalui konsultan Jenderal RI di Singapura.
Sumber : Tempo Interaktif, 27 dan 28 Januari 2006
Tiga debitor yang sowan ke Istana awal Feb 2006, yaitu Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Omar Utirai ( Bank Tamara ), dan James Januardi (Namura Internusa Yasonta), yaitu dalam kelompok lima debitor yang belum selesai kewajiban utangnya. 
Dua lainnya adalah Lidia Muhtar (Bank Tamara) dan Atang Latief (Bank Indonesia Raya). Berikut posisi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) mereka per 30 April 2004.
Nama Debitur
Perusahaan
Rp Miliar
Ulung Bursa
Bank Lautan Berlian
615
Omar Putrai
Bank Tamara
203
James Januardy
Namura Internusa-Yasonta
190
Lidia Muchtar
Bank Tamara
326
Atang Latief
Bank Indonesia Raya
123

            Oleh BPPN, kelima debitor ini dikelompokkan sebagai kooperatif karena mereka sebenarnya ingin menyelesaikan kewajiban. Bahkan, ada yang sudah menyelesaikan sebagian besar kewajibannya. Hanya karena BPPN terlanjur tutup, kelanjutan penyelesaian kewajiban utang mereka menjadi terkatung-katung hingga kini.
Tempo, 26 Februari 2006 melaporkan tiga debitor BLBI yang sowan ke istana

Utang Dibayar, Penjara Tetap
MENCARI ketenangan hidup di hari tua bagi empat penghutang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia itu rupanya bukan perkara gampang. Hanya dengan melenggang ke istana dan menyatakan sanggup membayar utang tak membuat mereka mampu membeli kepastian bebas.
            Pertemuan setengah jam Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), James Januardy (Bank Namura), Omar Puthrai (Bank Tamara), dan Lukman Astanto (Menantu Atang Latief, pemilik Bank Indonesia Raya), dengan para menteri ekonomi, Jaksa Agung dan Kepala Polri, senin 2 pekan lalu. Kini justru berbuntut kurang nyaman. Banyak protes dan gugatan.
            Munculkan pernyataan, mengapa mereka yang mengemplang begitu banyak uang negara diperlakukan istimewa? Diterima ditempat terhormat, dan diantar dua perwira polisi selevel Inspektur Jenderal Gorries Mere dan Komisaris Besar Benny Mamoto. Bagi terdakwa korupsi seperti M. Soleh Tasripan, perlakuan atas debitor kakap itu sungguh tak adil.
            Di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, mantan direktur Bank Mandir ini menyampaikan protesnya sambil sesenggukan “Perasaan keadilan saya terluka” katanya. Tak kurang pula mewanti-wanti agar sowan para pengutang ke istana disore gerimis itu tak menyulutkan niat penegakan hukum atas mereka.
            “Pengembalian utang tidak boleh menghilangkan tuntutan pidana” Kata Ketua Komisi Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia DPR RI, Trimedya Panjaitan. Dalam sidang di DPR, selasa pekan lalu, Komisi ini sepakat meminta jawaban yang diberikan Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara dan Gorries Mere, yang hadir mewakili Kepala Polri Jenderal Sutanto.
            Menghadapi pertanyaan dan protes bertubi-tubi, tak urung Jenderal Sutanto sendiri merasa perlu turun tangan langsung. Ia membenarkan, kedatangan para debitor itu atas prakarsa dan izinnya. “Kewajiban saya untuk menangani semuanya.” Katanya Senin pekan lalu. 
            Klasifikasi lebih terperinci diberikan Gorries Mere. Di depan wakil rakyat, Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri ini menjelaskan bagaimana citranya sampai empat debitor dibawanya ke Istana.
            Setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional tutup, Februari dua tahun lalu, beberapa pengutang berniat melunasi kewajibannya menghubungi Tim Pemberesan yang dibentuk pemerintah. Tapi, di tim itu mereka tak tertangani.”Mereka koopratif dan sudah membayar sebagian kewajiban pada Negara,” kata Gorries,
Debitor seperti tang Latief, misalnya, sangat ingin pulang dan melunasi utangya. Tapi selama ini, kata Gorries , Atang tak berani ke Indonesia karna di takut-takuti anak-anaknya sendiri. “ Anak-anaknya menelpon, mengirim surat, menakut-nakutinya supaya Atang Latife tidak pulang,” katanya kepada Eerwin Dariyanto daro tempo.
            Mereka ingin menguasi asset ayahnya, yang sebenarnya telah di sita oleh Negara. “mereka semua itu kaya, harta dari mana ?” ujar Gorries. Dalam kaitan itu, Rabu dua pecan lalu, salah satu anak Atang yang bernama Husni Mohtar telah ditangkap oleh tim dari Mabes Polri. Husni dituduh menggelapkan asset pribadi yang akan digunakan Atang untuk membayar utang BLBI. Tudingan ini dibantah kuasa hukum Husni Mochtar, Didi Irwadi Syamsuddin. “ Aset yang dikelola Husni milik pribadi,” katanya “Tak ada sedikitpun milik Atang.”
Mendapat informasi seperti itu, kepala polri Jendral Suntanto memberikan Gorries dan anggotanya terbang menemui mereka yang berada di Amerika Serikat. Sutanto juga melaporkan ini kepada Presiden. Pada mereka dijanjikan tak aka nada tindakan hukum yang dikenakan, asal mereka pulang dan membayarnya.
            Ketika menti-mentri dibidang ekonomi, kepala Polri, dan Jaksa Agung rapat di kantor Presiden, Gorries dikabarkan dating menghadirkan mereka.
            “soal tempat di Istana itu hanya kebetulan,” kata Sutanto. Ia meminta langkah anak buahnya ini dilihat sebagai keberhasilan. “Beberapa tahun kita mencari mereka, sekarang sudah kembali, ujarnya.
            Ternyata urusan tak gampang itu. Trimedya, misalnya, menganggap alasan para debitor soal tidak adanya pengganti BPPN hanya dibuat-buat. “kan ada TimPemberesan dan Perusahaan Pengelola asset yang menggantinya?” ujar plitikus PDI Perjuangan ini . Mereka harus tetap bayar.  Tapi tidak bisa bebas dari hukum begitu saja”.
            Ia berjanji akan mengawasi secara ketat realisasi pengembalian utang Negara dari para debitor itu.” Kalo perlu, kami akan melakukan peninjawan fisik,” katanya kepada Tempo, Jumat pecan lalu.” Jangan-jangan uangnya tak pernah ada.
Kabar Gembira Bagi Debitur
SKANDAL keuangan  terbesar negri ini, yakni penyimpangan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung), menegaskan dapat mengesampingkan unsuir pidana, bila para mantan pemilik bank melunasi seluruh kewajiban BLBI-nya.
            Langkah itu didasarkan pada UU 16/2004 tentanng kejaksaan yang antara lain member wewenang kepada Kejagung untuk mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Bagi para debitur yang telah melunasi BLBI, akan diberikan surat keterangan penyelesaian kewajiban pemegang saham, sebagai jaminan lolos dari sanksi pidana.
            KEPUTUSAN pemerintah tersebut menjadi suatu terobosan guna memecah kebuntuan pemecah BLBI yang mengendap sejak akhir 1999 . Sekian lama pemerintah berkutat mencari cara penelesaian terbaik, mengatasi tidak adanya itikad baik dari penerima BLBI.
            Kenyataan itulah yang menyakitkan hati rakyat para mantan pemilik bank telah menangguk ratusan miliyar uang rakyat demi menyelamatkan banknya, namun jumlah yang di kembalikan jauh dari memadai. Apalagi beberapa diantaranya mengandung unsure pidana, bahkan tak sedikit debitor  memilih kabur keluar negri.
            Langkah yang di tempuh pemerintah ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola yang sempat diluncurkan pemerintah di era Megawati. Pada akhir 2002. Megawati menerbitkan inpres 8/2002 yang member pengampunan hukum bagi debitor yang mau melunasi BLBI, dan menyiapkan sanksi hukum yang tegas kepada mereka yang ngemplangI.
            Namun langkah itu di keritik tajam karena dianggap menjungkir balikan logika hukum, bahwa unsur pelanggaran tidak bisa di hapuskan begitu saja. Apalagi para debitor banyak yang bersembunyi, bertahun-tahun tidak menunjukan itikad baik untuk melunasinya.
            Adalah wewenang pemerintah untuk menetapkan suatu prioritas yang di anggap lebih bermanfaat bagi kepentingan umum, dengan mengorbankan hal lain yang terkait didalamnya. Dalam konteks ini yang dimaksud kepentingan umum adalah kembalinya dana BLBI, agar pontensi kerugian Negara senilai Rp 144,5 Triliun bisa di tekan. Yang di korbankan adalah penegakan hukum.
            KITA sanksi, sejauh mana pemerintah mampu menjamin bahwa dengan mengesampingkan unsur pidana, akan efektif mengembalikan tunggakan BLBI. Disamping itu, kita melihat ada potensi langkah itu kembali di tentang. Sebab bagi sebagian-sebagian masyarakat, digugurkannya unsure pidana para debitor, sangat kontraproduktif dalam rangka penegakan hukum.
            Kini semua berpulang kepada pemerintah untuk mampu menjelaskan, meyakinkan, dan membuktikan kepada public, bahwa kebijakan itu paling tepat untuk kepentingan umum. Kita tidak ingin keputusan itu hanya menjadi kiat melolosakan dari jerat hukum, sementara hasil yang diperoleh tetap tak maksimal.
Namun, Majlis Hakim yang mengadili tiga mantan anggota direksi bank Mandiri (ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Tasripan) justru mengguanakn kunjungan ketiga debitur BLBI ke Istana sebagai pertimbangan untuk membebaskan ketiga terdakwa.


Apakah benar para debitor itu punya itikad baik mau mengembalikan uang yang dijarahnya ? kalau ada itikad baik mengapa terpendam sejak 1997, ujar ahli hukum perbankan, pradjoto. Dalam perumusan hukum, itikad baik senantiasa di letakan pada janji-janji yang sudah dirumuskan dalam akta pengakuan utang (APU) dan harus di ikuti secara cermat. Janji harus di tepati adalah prinsip perjanjian dalam hukum perdata.
            Menurut Pradjoto, sangat mungkin itikad baik ini perlu di beri tanda petik sangat tebal. Selain tersembunyi sejak lama, komunitas internasional semakin tidak member tempat bagi para koruptor untuk menyembunyikan uangnya.
            Misalnya ada aturan money laundering, mutual legal assistance di antara berbagai Negara.
Dan ada Anti-Corruption Act yang diluncurkan PBB serta di adopsi berbagai Negara. Mereka yang berusaha menyembunyikan uang di luar negeri makin terjepit. Pilihannya adalah pulang ke Indonesia dengan itikad baik dan di lepaskan dari tuntutan pidana.
            Namun, apakah pemerintah mau menerima pengembalian utang pokok seperti apa yang dibebankan kepada mereka sesuai dengan APU yang dahulu? Pradjoto mengatakan, APU harus dianggap tidak ada karena salah satu pihak telah mengingkari janji. Karena itu, APU harus di anggap gugur demi hakim. Artinya, bangunan hukum baru harus dibentuk untuk menyelesaikan persoalan ini.
            Tentunya bangunan hukum itu menghitung dana tersebut. Jangan sampai dan sudah masuk ke berbagai portopolio, investasi, dan berbagai bentuk lainnya.
            Artinya,uang itu sudah beranak pinak lalu datang kemari dngan bungkus itikad baik dengan mengembalikan pokoknya, padahal hasil investasi itu sudah melebihi pokoknya. Kalau hal itu terjadi, merupakan tingkat kekurakekurangajaran yang sangat luar biasa, tegasnya.
            Karen itu, aebaiknya penyelesaian BLBI ini tidak mengguanakan cara berfikir statis. Harus menggunakan pola berfikir yang dinamis sehingga ganjaran-ganjaran terhadap itikad baik tersebut bisa di hilangkan tanda kutip tebalnya itu.
            Pradjoto, mengatakan, para debitor yang sudah menerima SKL dan R&D sekarang ini sudah tidak bisa di apa-apakan. Upaya mengotak atik itu justru akan memunculkan ketidak pastian hukum.
Tingkat pemulihan aset (recover rate) pada debitor yang sudah ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang rata-rata hanya 27 persen, menurut Pradjoto, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menangani utang para debitor yang belum menyelesaikan utang BLBI-nya.
            Menurut dia, tidak relevan kalau perjanjian ekstradisi dijadikan peranti utama untuk mengejar koruptor atau debitor keluar negeri. Seharusnya rebut dulu uangnya, asalkan ada keputusan pengadilan, banyak cara bisa ditempuh untuk membekukan uang yang salah dibawa keluar. Uang itu pula yang bisa membuat orangnya selalu berpindah-pindah tempat. Jadi, jangan kejar orangnya, rebut dulu uangnya, setelah itu baru bicara soal pidananya, ujarnya.
               Pemerintah sebaiknya juga jangan mau menerima pembayaran utang dalam bentuk aset. Pembayaran harus dalam bentuk tunai. Kalau punya hanya aset, debitor harus menjualnya dulu, dengan tatacara penjualannya tetap harus diawasi pemerintah. Jadi, bukan merampas asetnya dan menjualnya, katanya.
            Atau alternatif lain, pemerintah yang menjual, dan untuk kekurangannya debitor tetap dikejar. Jadi tidak bisa seperti dulu, cash 30 persen dan sisanya dibayar aset, katanya menambahkan.
            Pradjoto menegaskan, untuk mereka yang terindikasi pidana tidak bisa hanya diselesaikan secara perdata. Harus ada pemilahan mana yang cukup perdata dan mana yang harus dipidana.


Sumber: Kompas Cyber Media, 18 Februari 2006

Butir-butir Penting dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006

Kategorisasi Pemegang saham PKPS
Pemegang Saham yang termasuk dalam kategori yang dapat dilakukan penanganan penyelesaiannya adalah Pemegang Saham yang telah menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang saham dan Pengakuan Utang, dan/atau Perjanjian Penyelesaian Sementara Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang, atau disebut Pemegang saham PKPS-APU, dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Telah melakukan sebagian pembayaran kewajiban kepada BPPN sebelum maa tugas BPPN berakhir, atau
2.      Telah menyampaikan rencana pembayaran jumlah kewajiban pemegang saham kepada Tim Pemberesan BPPN dan/atau Menteri Keuangan.

Mereka adalah (nama dan nama bank)
1.    Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian);
2.    Atang Latief (Bank Indonesia Raya);
3.    James dan Adisautra Januardi (Bank Namura Internusa);
4.    Omar Putihrai (Bank Tamara);
5.    Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa);
6.    Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).

Parameter Penyelesaian
Langkah-langkah penyelesaian dengan parameter sebagai berikut:
1.    Penetapan Jumlah Kewajiaban Pemegang Saham
Penetapan jumlah kewajiban dilakukan berdasarkan data terakhir yang ada dari ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) pada Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

2.    Pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
Penyelesaian kewajiban pemegang saham dilakukan secara menyeluruh dengan pola sebagai berikut:
a.    Pemegang saham harus memberikan usulan penyelesaian secara menyeluruh (100% dari jumlah kewajiban Pemegang Saham).
b.    Pembayaran jumlah kewajiban pemegang saham dilakukan 100% tunai/cash atau dengan kombinasi tunai/cash dan near cash.
c.    Pembayaran dengan tunai/cash
1)   Pembayaran tunai oleh pemegang saham dilakukan pada rekening yang akan ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
2)   Berdasarkan bukti pembayaran dan bukti telah diterimannya dana pada rekening yang ditunjuk, maka dana yang telah diterima tersebut akan di bukukan sebagai pembayaran jumlah kewajiban pemegan saham.
d.    Pembayran dengan kombinasi tunai/cash dan near near cash dibatasi 70% cash dan 30% near cash.
e.    Pembayaran near cash harus dalam berbentuk Surat Utang Negara dan/atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
f.     Pembayaran dengan near cash  dalam bentuk Surat Utang Negara dan/atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dibukukan dengan nilai par-value-nya sebagai pengurang jumlah kewajiban pemegang saham.
3.    Penyelesaian secara Kasus Per Kasus
Penyelesaian kasus per kasus dapat dilakukan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a.         Pemegang saham mengajukan rencana pelunasan kewajibannya yang berbeda dari pola penyelesaian tersebut di atas.
b.         Pemegang saham meminta kelonggaran waktu pelunasan kewajiban-nya.
4.    Exit Strategy
Dalam jangka waktu penanganan penyelesaian PKPS, yaitu sampai dengan akhir tahun 2006, Menteri Keuangan memiliki wewenang untuk tetap atau tidak melanjutkan proses penyelesaian PKPS, apabila terdapat kriteria sebagai berikut:
a.         Pemegang saham tidak mampu menyerahkan rencana pembayaran sesuai pola penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam butir 2 atau sesuai dengan penyelesaian secara kasus per kasus sebagaimana dimaksud dalam butir 3 dia atas.
b.         Pemegang saham tidak mampu memenuhi target waktu penyelesaian yang telah ditetapkan atau kelonggaran waktu yang diminta oleh pemegang saham tidak dapat diterima.
Dalam hal terdapat kriteria sebagaimana huruf a dan b di atas dan Menteri Keuangan tidak melanjutkan proses penyelesaian PKPS maka terdapat pemegang saham akan diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara.
Tanggapan mengenai pergeseran dari upaya pidana ke upaya perdata, antara lain diberikan oleh Dedi Muhtadi.


                                                                   Pidana-Perdata
BLBI selalu selalu dikaitkan dengan ada tidaknya pidana. Kasus ini mengandung beberapa peristiwa di dalamnya, salah satunya batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang dalam UU Perbankan dinyatakan sebagai pelanggaran.
            Ada yang tidak berurusan dengan pidana karena dana itu digunakan tepat.namun, ada juga yang digunakan penerimanya untuk bermainvalas yang saat itu memperoleh kesempatan dengan anjloknya rupiah.jadi, jangan sekali-kali menilai bahwa BLBI tidak ada unsur pidananya.
            Kalau pemerintah menyelesaikan kasus ini melalui perdata, tetapi di dalamnya terdapat unsur pidana, pertanyaannya, apakah akan diberikan pengampunan surat keputusan lunas (SKL) atau relase and discharge (R&D).
            Namun, pemerintah tidak bisa memberikan R&D karena yang bisa memberikannya hanya Kejaksaan Agung. Yakni Jaksa Agung dapat meniadakan sebuah perkara manakala kepentingan publik menghendakinnya. Pertanyaan berikutnya, kepentingan publik mana?
            Kalau pemerintah bermaksud menyelesaikannya dengan baik dengan harapan rombongan lainnya akan beritikad baik, maka kembalikan uangnnya dulu. Sesudah itu baru pilihlah mana yang harus diberikan SKL, karena kasus ini hanya memliliki masalah perdata, dan mana yang memiliki indikasi pidana.
            Jadi, penyelesaiannya ada dua yang dalam anasir perdata diselesaikan segera, dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan mengajukan pidananya. Sebab, dalam kasus ini tidak memiliki anasir pidannya.
            Sementara kasus yang memiliki unsur pidana, uangnya harus diterima dulu oleh pemerintah dan pidananya diselesaikan oleh Jaksa Agung.
            Kalau pokoknya tidak diberikan dulu, jangan ada perjanjian apa pun. Sebab, tidak menutup kemungkinan ada niat-niat yang tidak baik, tetapi pemerintah harus menundukan mereka dengan uangnnya dulu sebab itu merupakan uang negara. Kalau ini tidak diselesaikan, negara akan mengalami kerugian yang sangat luar biasa.
            Karena itu, gunakan momentum ini dengan penyelesaian yang baik sebab dengan penyelesaian iti rombongan yang lain pun akan berdatangan. Namun, polannya tidak bisa di gebbyah uyah, misalnya tidak bisa semuannya masuk ke APU.
            Debitor yang tidak kooperatif ini sudah lari kemana-mana lalu terjepit oleh suasana internasional yang menyatakan perang terhadap koruptor. Jadi, penyelesaiannya harus berbeda atau kejam. Penyelesaiannya harus berpijak pada net present value karena keadilan juga terletak disana.
            Di lain pihak, pemerintah juga berhak menuntut bungannya. Kalau tidak, bagaimana kondisi debitor-debitor lain yang benar dan tertib. Mereka membayar bunga sesuai dengan kewajibannya.
            Hal itu perlu dilakukan karena jangan sampai muncul persaingan yang tidak sehat, terutama di sektor riil. Kalau itu terjadi, maka tidak fair dan menyinggung rasa keadilan pula. Intinya, bahasa hukum harus mampu menerjemahkan bahasa ekonomi. Kalau tidak,akan menjadi tidak adil.

            Berapa kerugian negara dari semua bantuan untuk menyelesaikan krisis keuangan 1997? Dari seluruh aset senilai Rp640 triliun, nilai dana yang kembali ke negara hanya 28 persen. Hingga sekarang, dampak yang harus ditanggung rakyat Indonesia dari bunga obligasi.
BLBI ini pertahun saja mencapai Rp14 triliun. Bunga keseluruhan dari uang negara yang dkeluarkan untuk perbankan itu mencapai Rp63 triliun per tahun. Semua itu beban rakyat Indonesia.
Beanr-benar suatu drama politik untuk harga paling mahal yang dibayar oleh suatu bangsa untuk menyelamatkan perbankannya yang juga justru di dominasi para konglomerat dan orang-orang terkaya Indonesia (beberapa diantara mereka tercatat sebagai orang terkaya dunia). Mengenai kerugian ini, Ketua BPK dan Mantan Deputi Gubernur Senior BI, Prof. Dr. Anwar Nasutin, menulis, “biaya krisis perbankan di Indonesia merupakan biaya termahal di seluruh dunia dalam sejarah manusia.”11
Drama ini baru mengenai sebagian kerugian negara. Masih ada jumlah besar dari kaum kleptocrat yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa, bersama keluarga dan para kroni yang belum tersentuh.
            Sebagaimana hanya kasus Marcos, para pimpinan negara setelah Soeharto “bersumpah” membasmi korupsi dan memburu harta-harta haram. Seperti kasus Marcos, mereka mengalami “keletihan”. Dalam kasus BLBI, pemerintah “menemukan” jalan keluar, cenderung pada keputusan yang lebih berorientasi pada pemulihan kerugiannya.
            BLBI juga menunjukan kerugian pemerintah untuk memburu aset para koruptor. Hubungan dengan negara –negara lain juga menjadi sangat penting dalam upaya ini. Dari seminar-seminar dan pertemuan internasional. Terlihat kecenderungan diantara neger-negara untuk bekerjasama menangani kasus-kasus korupsi yang lintas negara.
            Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK mengambil alih perkara BLBI saat ini. BLBI ditangani Polri dan Kejaksaan secara berlarut-larut, tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dan demikian kata Emerson Yuntho (Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan. ICW) kepasa suara pembaruan, sehubungan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 151/KMK 01/2006. Emerson juga menanggapi bahwa Jaksa Agung Mengaburkan pengertian “demi kepentingan umum” sebagai alasan untuk menyampaikan perkara . ia melanjutkan, “Jaksa Agung seharusnya menjelaskan secara trasparan parameter kepentingan umum yang digunakan.”



PENELUSURAN ASET
Penelusuran aset dapat dilakukan degan cara-cara yang akan dibahas di bawah. Beberapa diantaranya kelihatan terlalu sederhana untuk seorang investigator. Pada kenyataannya, cara-cara yang sederhana dan relatif murah dengan upaya yang pantang menyerah justru akan memberikan hasil.
            Bahkan, pada beberapa kasus besar—di mana lembaga pencarian aset internasional yang digunakan—hasilnya tidak ada,sementara biaya (fee) sangat besar.lembaga-lembaga ini umumnya membebankan contingen fee (fee yang besarnya tergantung dari aset yang berhasil ditelusuri/diperoleh kembali) dan sejumlah biaya tetap yang harus dibayar meskipun tidak ada hasil apa-apa.
Informasi mengenai aset yang disembunyikan dapat diperoleh dari sumber-sumber berikut:
1.    Laporan Transaksi Keuangan yang mencurigakan (Suspicious Transaction Report) dan Transaksi Keuangan Tunai (Cash Transaction Report) yang dikirim penyedia jasa keuangan kepada PPATK (lihat Bab 25). Laporan ini mencantumkan detail dari jumlah yang ditransfer, nama bank, dan nomor rekening bank pengirim (kalau transfer buka berasal dari setoran tunai) dan penerimaan. Informasi ini bermanfaat untuk pembekuan rekening bank dan penelusuran lebih lanjut dari arus dana berikutnya.
2.    Pihak PPATK juga mempunyai jaringan kerja sama dengan lembaga serupa di luar negeri, yang menjadi counterpart-nya dan pihak Interpol. Informasi dari dalam luar negeri dapat digunakan untuk maksud penelusuran aset sesuai dengan peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang. Misalnya oleh Tim Pemburuan Koruptor.
3.    Informasi lain adalah  dari hasil penelitian dari orang-orang yang mengkhiususkan diri dalam “perburuan harta haram”, seperti George Aditjondro (Lihat kotak 28.8) dan para NGO. Tulisan mereka terunjuk pada sumber-sumber (referensi) lain dan wawancara mereka dengan orang-orang yang sangat mengetahui, tetapi lebih suka identitas diri mereka tidak diungkapkan. Dengan kondisi ini, mereka lebih bebas berbicara tanpa perlu khawatir dengan tuntutan pencemaran nama baik. Kelemahan informasi ini adalah kemungkinan ia menjadi basi ketika buku diterbitkan. Namun, dalam hal aset tidak mudah dipindahkan secara fisik atau ganti nama, informasi ini bisa dimanfaatkan.
4.    Di banyak negara, ada macam-macam kantor pendaftaran (registrat) yang informasinya terbuka untuk umum karena memang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, contohnya Biro Pertanahan Negara di Indonesia (yang dulu dikenal sebagai kadester). Bapepam dan Bursa Efek merupakan sumber informasi mengenai perusahaan yang menjual surat berharga (efek-efek) di pasar modal. Kelemahannya adalah untuk pemegang saham yang tercatat di negara-negara yang disebut  tax haven countries, tidak jelas pemegang saham sesungguhnya. Departemen perdagangan  mempunyai Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat Pusat) dimana laporan keuangan perusahaan yang di audit (baik perusahaan ter tutup maupun PT Tbk) dikirimkan. Ada kantor pengacara yang mengatalog anggaran dasar perseroan terbatas yangsudah mendapat pengesahan Departemen Kehakiman. Kantor polisi yang mengelola pendaftaran kendaraan bermotor juga merupakan sumber informasi penting (apakah ada mobil mewah atas nama pejabat negara atau keluarganya?).
5.    Khusus untuk Penyelenggara Negara, Keputusan Presiden Nomer 127 tahun 1999 mengatur tentang pembentukan komisi pemeriksa kekayaan penyelenggara negara dan sekertaris jendral komisi pemeriksa kekayaan penyelenggara negara.
6.    Pembocoran informasi oleh “orang dalam”. Alasannya bermacam-macam, mulai dari kekecewaan atau sakit hati dengan partner dagangnya, sampai harapan untuk memperoleh keringanan hukuman karena bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kasus. Dalam beberapa kasus, usai yang lanjut juga membawa dampak terhadap keinginan “mengaku dosa”.
7.    Persengketaan di antara anggota keluarga terkadang berakhir dengan pengungkapan harta yang disembunyikan, misalnya sengketa antara beberapa istri dan turunan mereka dalam memperebutkan warisan hasil korupsi. Almarhum suami menyembunyikan harta hasil korupsinya. Penyembunyian ini menjadi terungkap ketika keluarga yang bersengketa membawa masalahnya kepengadilan. Contoh semacam ini terjadi ketika petinggi Pertamina (Haji Achmad Taher) mewariskan deposito yang ditempatkan di Bank Sumitomo cabang Singapura (Lihat Kotak 28.8)


























Post a Comment

0 Comments