MAKALAH
TAX
PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 dan PPH FINAL
Disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tax Management
Dosen
pengajar :
Nahrudddien
Akbar
Disusun oleh :
Denna Erdina
Dewi Manuturi
Dwi Agiarti
Edlin Wigra T (
Fuad Firdaus (15106310300)
PROGRAM
STUDI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
SINGAPERBANGSA KARAWANG
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26
dan PPh Final ”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Tax Management, dan mencapai
kompetensi yang diharapkan yaitu mampu menjelaskan tentang bagaimana strategi
Tax Planning atas PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final. Tidak lupa pula, kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa/mahasisiwi
dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Karawang,
Penyusun
DAFTAR
PUSTAKA
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Pembahasan
BAB 2. LANDASAN TEORI
2.1 PPh
Pasal 22
2.2 PPh
Pasal 23
2.3 PPh
Pasal 26
2.4 PPh
Final Pasal 4 ayat 2
2.5 PPh
Final Pasal 15
2.6 Tax
Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final
2.7 Tax Planning PPh Pasal 25 Orang
Pribadi
BAB 3. Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen
Pajak) untuk memungut pajak adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan
pemungutan dan pemotongan atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ke-tiga),
sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk melakukan pemotongan atau pemungutan
pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke kantor pajak setiap
bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.
Cara seperti ini
dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini, pemerintah akan
lebih mudah clan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar. Tugas
pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak
menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan
sanksi administrasi, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara.
Berbeda dengaan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib
paiak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya
sendiri, dengan sistem withholding tax, wajib pajak diwajibkan untuk memotong,
menyetorkan, dan mengadministrasikan pajak pihak lain (pihak ketiga).
Dalam praktiknya,
masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki informasi
lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga
ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan
pemotongan atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah,
wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang
dipungut/ dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi. Terkesan kurang adil
perlakuan pengenaan sanksi perpajakan terterhadap wajib pajak pemungut dan
pemotong pajak karena mereka dibebani kewajiban untuk memungut pajak pihak lain
(pihak ketiga) yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya,
melainkan tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini adalah Ditjen Pajak), tetapi
ketika wajib pajak pemungut dan pemotong pajak tersebut luput memotong/memungut
pajak yang seharusnya mereka potong/pungut, maka kepada mereka akan dikenai
sanksi perpajakan, tanpa ada kompensasi apa pun atas jumlah pajak yang berhasil
mereka potong/pungut, padahal wajib pajak pemotong/pemungut juga telah
mengeluarkan macam-macam biaya overhead (biaya pegawai, cetakan, dan biaya umum
dan administrasi lainnya) untuk penyelenggaraan administrasinya. Didorong oleh
asas kemudahan (convenience) dalam pemungutan/pemotongan pajak yang kadang
berbenturan dengan asas keadilan (dari empat asas perpajakan yang dikemukakan
Adam Smith), namun kaidah kecukupan penerimaan negara dari sektor pajak
tampaknya lebih menonjol dan semakin terkristal dalam UU PPh yang baru yang
memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi pemerintah dalam menentukan
jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek withholding tax dan terus
memperluas pengenaan withholding tax ini seperti tertuang dalam UU PPh No. 36
Tahun 2008.
1.2
Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB
2
LANDASAN
TEORI
1. Pajak Penghasilan Pasal 22
Tax
Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.O3/2001 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan PMK No. O8/PMK.O3/2008, pajak ini menyangkut PPh
Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk
pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas
kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok,
semen, otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008). Di sini yang akan
dibicarakan adalah masalah PPh Pasal 22
impor. Sebetulnya bidang PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak
di sektor impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang,
serta pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Kalau
perusahaan mengimpor barang, harus membayar PPh Pasal 22 impor pada saat
pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah Ditjen Bea Cukai atau bank
devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari
PPh yang terutang di akhir tahun pajak.
Dalam haI impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah
perusahaan punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau tidak
dikuasai artinya barang tak bertuan. Kalau ada API tarifnya 2,5 % dari nilai
impor, kalau non API 75%, dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5 %
dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang atau
nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan,
jika ada). Rate yang berbeda ini men dorong adanya tax planning. Tentu yang
dipikirkan oleh tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam
melakukan impor, tax planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Rate yang berbeda juga akan mendorong orang untuk Iari ke API, bagaimana
caranya? Dalam bisnis kita tidak selalu bisa begitu saja membuat pilihan.
Pilihan itu ada bila kita punya akses masuk ke dalam pilihan tersebut, dan ini
tidak semua orang bisa melakukannya. Bagaimana mungkin importir yang punya API
mau menerima permintaan pemilik barang yang kurang atau tidak dikenalnya untuk
menggunakan fasilitas API nya. Ini karena risikonya cukup tinggi, karena bila
si pemilik barang tersebut tidak jujur (barang yang dikeluarkan adalah barang
selundupan, atau barang optik yang
harganya sangat mahal tetapi dalam Pemberita-huan lmpor Barang (PIB) dan
dokumen impomya dilaporkan sebarai baraing pecah belah). Bila kasus ini
terlacak oleh Ditjen Bea Cukai begitu juga pemilik barang. Sanksinya sangat
berat karena ini kasus manipulasi import, yang termasuk tindak pidana.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API tersebut bisa terjadi
digunakan oleh unit-unit bisnis dalam grup perusahaan atau konglomerat yang
satu dengan lainnya sudah saling kenal dan berada dalam payung kepemilikan
perusahaan yang sama, malah itu mungkin menjadi suatu kebijakan bisnis grup-nya
yang harus dijalankan dan dipatuhi. Kalau kebijakan ini diimplementasikan, tax
planner bisa tersenyum karena “berhasil” menekan beban PPh Pasal 22 menjadi
sebesar 5%, dari yang tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan untuk menghemat cash
flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22 ini
akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh
Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping ( laut dan udara), kita mengenal adanya “handling
fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee
antara impotir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang
diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara
ini mungkin bisa dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak punya API dengan
“meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impomya
dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar dari
cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si pemilik
barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5%
dari harga barang import tadi (yakni dari cost insurance & freight + bea
masuk). Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, cara ini akan bisa manghemat
cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut
hanya akan menyebabkan lebih bayar. Jika ingin meminta restitusi Pajak
Penghasilan harus diperiksa dulu SPT PPh Badannya oleh fiskus atau pemeriksa
pajak. Bukankah hal ini rumit bagi wajib pajak dan secara ekonomis cost of tax
compliancenya bisa menjadi sangat mahal? Daripada diperiksa dan cost of tax
compliancenya sangat mahal, lebih baik dibiayakan saja PPh Pasal 22 itu (walaupun
jadinya non deductible) untuk menghindari lebih bayar pajak, boleh kan?
Syukurlah PPh Pasal 22 ada tax savingnya. Rekayasa ini feasible dan legal
bukan?
Ketentuan untuk barang yang tidak
dikuasai, atau barang tidak bertuan, adalah membayar dengan rate yang sama
dengan dikenakan pada non API. Bagi tax planner, banyak hal yang bisa
dimanfaatkan dalam hal barang yang tidak dikuasai ini. Memang barang tak
bertuan ini, tidak (mau) diketahui siapa pengimpomya. Biasanya dari importir
kemudian ke pemilik barang atau produsen. Bagi pemerintah, yang dituntut adalah
transparansi, siapa yang memiliki barang impor tersebut, dan mebayar PPh Pasal
22. Yang menjadi tanda tanya di sini, mengapa barang tersebut menjadi barang
tidak bertuan? Bila bukan barang terlarang, mungkin karena dokumen imporrnya
atau shipping documentsnya tidak lengkap, sehingga sewaktu proses customs
clearance di Ditjen Bea Cukai mengaIami kendala untuk mengeluarkan barang
tersebut dari pelabuhan atau bandara. Akibatnya, lama kelamaan biaya penumpukan
(storage) di gua dang pelabuhan atau airport semakin membengkak dan menjadi
sangat mahal. Apalagi jika imporitnya tidak punya API. Dalam kasus semacam itu,
bila importir atau pemilik barang (consignee) ingin menebus semua biaya
penumpukan serta biaya impor (bea masuk, PPh Pasal 22 dan PPN impor) &
customs clearance, maka mungkin total pengeluaran yang harus dibayarkannya sama
atau lebih besar dari nilai jual barang tersebut. Dalam keadaan sepeti ini,
importir atau pemilik barang akan berpikir untuk tidak menebus barang tersebut,
mengikhlaskan saja untuk pemerintah buat dilelang, karena bagi mereka tidak ada
lagi nilai tambah (cost > benefit), bahkan justru akan menambah kerugian.
Kerugian tersebut bisa dihindari atau paling tidak diminimalisasi bila sejak
awal sudah diantisipasi kekurangan dokumen impornya, diurus kelengkapannya
dokumennya secepatnya (dokumen pembelian dan pengiriman dari pabriknya, bill of
lading, dan sebagainya). Selanjutinya diusahakan “meminjam” ben dera perusahaan
yang punya API untuk mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan atau airport.
Bila semuanya masih menemui jalan buntu, kita masih punya waktu untuk
“rnenjual” barang tersebut kepada importir/pabrikan/trader lain secara Win-win
solution ketimbang menderita total loss.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan
benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah transaksi peminjaman bendera
ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah
hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif
atau melanggar hukum. Bila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung
jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan
pajak, masalah pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah
ada objek pajak atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah
dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan
material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai
bukti pendukung yang sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas
transaksinya. Namun harus pula diantisipasi adanya mutasi arus kas masuk dan
kas keluar dalam rekening bank perusahaan yang meminjamkan benderanya karena
flskus acapkali menganggap aliran kas yang sudah masuk ke rekening perusahaan sebagai
pendapatan (padahal cuma numpang lewat), sedangkan biaya yang dikeluarkan bila
tidak dapat dibuktikan pemenuhan syarat formalnya secara legal kemungkinan
biaya itu tidak diakui (non deductible).
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal,
seperti tidak melanggar ‘ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal
(reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak,
invoice, dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal
pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak
yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan
masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22
yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final
tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22
Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan
oleh tax planner. Misalnya untuk impor barang yang bebas bea masuk yang juga
dikecualikan dari PPh impor, begitu juga barang untuk keperluan pameran, atau
keperluan lain yang bersifat sementara. Di sini beda penggunaan sudah bisa
dimanfaatkan. Tax planner akan selalu memanfaatkan beban pajak yang minimal.
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah (a) Impor
barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; (b) Impor barang yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001
yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan 236/KMK.02/2003 dan 154/
PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.
Contoh kasus: Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang mempunyai
fasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak
tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN [PP No.12
Tahun 2001] sebagaimana telah diubah ketigakalinya, terakhir dengan PP N0. 7
Tahun 2007), dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai (KMK No. 254/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan PMK N0.
08/PMK.03/ 2008, artinya, segala sesuatu yang menyangkut pajak-pajak impor,
dibebaskan, yaitu Bea Masuk, PPh impor, dan PPN impor. PT A mempunyai rekanan
kontraktor yaitu PT B (kontraktor). Sebenamya PT B ini juga mempunyai API tapi
dia tidak memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API-nya.
Jadi segala sesuatu , yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam
pelaksanaannya di lapangan yang mengeksekusi PT B. Kenapa demikian? karena
kalau API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor tersebut,
pasti akan terkena Bea Masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 impor, karena PT B
tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan
PPN. Jadi di sini PT B dapat menghemat cash flow nya. Seandainya kontrak
perjanjian antara PT A dengan PT B mensyaratkan PT B yang mengimpor barang dan
harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas
impor duties: bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor), maka bagi PT B
(kontraktor) tekanan beban cash flowanya sudah agak ringan. Dalam hai ini tax
planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT A
mengajukan permohonan tertulis kepada
Dirjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor
tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea
masuk, PPN impor dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan
tersebut harus dibuat secara formal atas
nama PT A, bukan atas mama PT B.
Pengajuan SKB PPh Pasal 22
Sesuai dengan
Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain
kepada Direktur jenderal Pajak karena:
a.
Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan
dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami
kerugian fiskal
b.
Wajib pajak berhak
melakukan kompensasi kerugian flskal sepanjang kerugian tersebut j umlahnya
lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c.
Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih
besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi
kriteria, seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax
planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh
Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Ketentuan Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa menteri
keuangan dapat men‘etapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak,
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk
memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan tertentu untuk memungut
pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Ketentuan mengenai dasar
pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan Menteri Keuangan mengenai pengenaan PPh
Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.O3/2001
sebagai mana telah diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.O3/2008. Secara
garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu:
1. PPh Pasal 22 lmpor
Besarnya PPh
Pasal 22 Impor adalah:
- Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
·
Atas impor kedelai, gandum,
dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif sebesar O,5% dari nilai impor.
·
Selain impor gandum dan
tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai 2,55% dari nilai
impor.
- Yang tidak menggunakan API sebesar 7, 5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor.
- Yang tidak dikuasai sebesar 7,5 % (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
Catatan:
-Nilai impor:
Harga Patokan Impor (nila1 CIF) + Bea Masuk + Bea masuk tambahan (jika ada)
-Kurs yang
digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai
atau bank devisa pada saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan
kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.
Impor
barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final
- Atas impor barang yang. digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh flnal, tidak dikenai IPPh Pasal 22 impor.
- WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
- Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
_ 2. PPh Pasal 22 Bendaharawan. dan
BUMN/BUMD
Atas pembayaran
untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh
Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipungut
pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran, Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari
APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan
kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemungut dengan
menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).
3. PPh Pasal 22 atas Keglatan Usaha Lain
Tabel berikut
ini memperlihatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain yang
harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di nama tarifnya sangat bervariasi
tergantung pada jenis usahanya:
Tabel IV-l
Objek PPh Pasal
22
4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang
Tergolong Sangat Mewah
Sesuai dengan
PMK No. 253/PMK.O3/2OO8 tentang Wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh
dari pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, pemungut pajak
adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah yang diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga
jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Barang yang
tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud adalah:
a.
Pesawat udara pribadi
dengan harga jual lebih dari Rp 20 miliar.
b.
Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp 10 miliar.
c.
Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau
harga pengalihannya Iebih dari Rp 10 miliar dan luar bangunan lebih dari 500 m2
(lima ratus meter persegi);
d.
Apartemen, kondominium, dan
sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan
atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat ratus meter persegi);
e.
Kendaraan bermotor roda
empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility
vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp 5 mliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
2. PajakPenghasilan Pasal 23
Pajak adalah pungutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang
dilegalisasi melalui undang-undang. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi
kesan bahwa pungutan itu tidak sama dengan perampasan. Bagaimanapun juga, itu
adalah suatu pengeluaran yang tidak ada direct benefitrnya. Oleh karena itu
sepanjang tidak ada aturannya, sah saja kalau tidak dibayar. Kalau ada
pemotongan dan pungutan, masyarakat cenderung berusaha untuk shifting dari yang
objek-objek yang kena pemotongan atau pemungutan, melakukan shifting hingga
menjadi tidak kena pajak atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang
kecil. Mereka akan bermain dengan kata-kata atau terminologi, hingga muncul
istilah yang aneh-aneh. Setiap ada terminologi yang kena pajak, mereka akan
mencari terminologi lain yang tidak tercakup dalam ketentuan.
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh
Pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan
adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan
pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak
ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik
proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus
pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan
dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
- Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta, di gross up menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80 juta Rp 72 juta = Rp 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen.
- Namun bila Perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp 72 juta = Rp 7,2 juta), maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Tapi apakah hal itu akan diakui fiskus? je1as tidak, karena cara ini baru
dilakukan secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa
bangunan tersebut bisa dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak
perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk mengubah invoice, faktur pajak,
clan dokumen lain yang mengakomodir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas
transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat kesesuaian antara
penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan
mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80 juta, dan
setelah itu pemilik gedung memotong PPh Pasal 4(2) final 10% x Rp 80 juta = Rp
8 juta, dan menyetorkannya ke kas negara atau bank persepsi.
Pengenaan Pajak Atas Deviden
UU PPh No 10
Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam negeri
(selain bank atau Iembaga keuangan lainya) tidak temasuk objek pajak PPh Badan
dengan syarat bahwa (1) deviden berasai dari iaba yang ditahan dan (2)
Kepemilikan saham Perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit
memiliki 25% dari niiai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen
(operating company). Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi
cepat-cepat membuat perseroan terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang
sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa ini mereka hanya
bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada operating company yang
membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak. Apa modusnya? Bagi orang pribadi,
ini adalah Cara mereka untuk “Iari” dari pengenaan PPh Pasai 23 atas dividen,
sebab sebagai penerima dividen mereka akan dikenai PPh Pasal 23, sedangkan
perusahaan tidak dipotong. Punya usaha, dapat untung, tapi tidak mau kena
pajak. Mereka mengubah portofolio investasi menjadi investasi atas nama
perusahaan dengan kepemilikan saham minimal 25% dari jumiah modal yang disetor.
Usaha mereka berhasil, dividen yang mereka terima tidak kena pemotongan PPh
PasaI 23.
Pemerintah menutup grey area ini dengan merevisi pasai 4 ayat 3(f),
dengan menambahkan, Perseroan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan
saham sebagaimana disebut di dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000. Terakhir, dalam UU
PPh N0. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku awaI 2009, dijelaskan bahwa, untuk
syarat memiiiki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend,
dihapus. Dengan demikian tax planning mesti diubah kembali.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan ke luarnya
adalah merger untuk mencukupi kekurangan dana yang harus di investasikan ke
operating company.
Perubahan
Tarif PPh Pasal 23
UU PPh yang baru
No. 36 Tahun 2008i telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula 15% menjadi:
- 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan. sejenisnya.
- 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Kalau tadi kita sudah membahas tentang pajak atas dividen, yang masih
cukup tinggi biaya pajaknya adalah pajak atas bunga, yakni 15% dari pinjaman.
Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat dibiayakan, sedangkan
bagi bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai PPh final karena itu adalah
business income dari bank tersebut. Di luar bunga pinjaman, bank terkena
pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%. Setting dengan berkembangnya bisnis
syariah, kesadaran untuk menghindari penggunaan terminologi bunga telah membuka
cakrawala baru bagi pebisnis dan tax. planner. Mereka jadi cenderung membuat
perjanjian bagi basil (fee) atas peminjaman uang sebagai pengganti bunga. Lalu
apa keuntungannya bagi perusahaan? Bagi basil dari sudut pandang pajak apakah
merupakan objek pajak yang dikenai PPh Pasal 23? Menurut penulis, substansi
bagi hasiI perlakuan perpajakannya sama dengan bunga pinjaman yang harus
dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%, mengingat bahwa si pemberi pinjaman
bukanlah lembaga keuangan yang mendapat izin operasional dari menteri keuangan.
Kalau di Bank Syariah sudah jelas, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat ( 1)
PER-Menkeu No. 136/PMK.03/2011, bahwa bagi basil yang diterima atau diperoleh
nasabah penyimpan atau nasabah investor dengan nama dan dalam bentuk apa pun
dikenai PPh sesuai ketentuan PPh atas bunga.
Pengajuan
SKB PPh Pasal 23
Seperti
pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama
berlaku juga pada PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama,
yakni sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, di mana wajib pajak
dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal
23 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang
dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax planner yang baik akan selalu
memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak
terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh
wajib pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh
Pasal 23, sesuai dengan ketentuan PER-70/P]./2007 yang mulai berlaku sejak 9 April 2007 sebagai pengganti PER-178/PJ./2006 (yang mencabut. KEP-170/PJ./2002). Muiai tahun 2009,
ketentuan lebih lanjut mengenai jasa
lain diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008.
Pemotong PPh Pasal23/26
1.
Badan Pemerintah
2.
Subjek pajak badan dalam negeri.
3.
Bentuk usaha tetap (BUT)
atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4.
Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP.
yaitu:
·
Akuntan, arsitek, dokter,
notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara,konsultan yang melakukan pekerjaan
bebas.
·
Orang pribadi yang
menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan
Subjek Pajak PPh Pasal 23/26
- Wajib Pajak Dalam Negeri
- Bentuk Usaha Tetap.
- Wajib pajak luar negeri.
Objek Pajak PPh Pasal 23/26
Adalah
penghasilan yang berasal dari:
- Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.
- Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.
- Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23
- 15% dari penghasilan bruto, meliputi:
1.
Dividen; kecuali yang
diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi, dengan syarat kepemilikan saham minimal
25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
2.
Bunga termasuk premium,
diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
3.
Royalti.
4.
Hadiah dan penghargaan lain ”selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
- 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
- 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
- Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh
Pasal 26/21/23 Yang Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung
oleh pemberi penghasilan, kecuali:
- Pajak atas pengha-silan sebagaimana dimaksu'd dalam Pasal 26 ayat (1). UU PPh tetapi tidak termasuk dividen.
- Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghi tungan dasar untuk pemotongah pajak.
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal
26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan
perlakuan perpajakan sebagai berikut:
·
Dalam hal PPh 21 ditanggung
oleh pemberi Ipenghasilan, sesuai dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut
diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja
dan bukan penghasilan pegawal yang menerimanya.
·
Pajak Penghasilan yang
terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) kecuali
dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang pajak tersebut
ditambahkan (gross up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh:
PT ABC membayar
bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000 yang sesuai
dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan
PPh Pasal 26 =
100/80 x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26
yang terutang =
20% x Rp
125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya
bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp
125.000.000 (=Rp 100.000.000 + Rp 25.000000).
Catatan Penulis:
Penggunaan
Metode Gross up yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf d Peratutan Pemerintah No.
138 Tahun 2000 diberlakukan untuk diterapkan pada PPh Pasal 21 dan Pasal 26, di
mana Pajak Penghasilannya ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi
kerja, sehingga pemberi penghasilan atau pemberi kerja akan dapat membukukan
dalam buku besamya dan melaporkan dalam laporan keuangan fiskal maupun komersil
sebagai biaya yang deductible atau biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto. Jadi Pasal 4 huruf d PP No. 138 Tahun 2000 tersebut adalah
legitimasi praktik gross up untuk objek PPh Pasal 26 dan Pasal 21, sedangkan
untuk objek PPh lainnya seperti PPh Pasal 23 antara lain dapat merujuk pada
Surat Dirjen Pajak Surat Dirjen Pajak No. S-1105/MK.012/1985 dan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-64/PJ/2009 seperti diuraikan di bawah ini.
Private Ruling: Surat Dirjen Pajak No. 8-1
105/MK012/1985 tentang bonus-bonus yang dibayar oleh kontraktor kepada
Pertamina
- Bonus pada Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 815/ KMK.012/1985 tanggal 27 September 1985 adalah bonus penanda tanganan, bonus kompensasi data, bonus produksi, bonus pendidikan, dan bonus lain dengan nama apa pun.
- Terhadap bonus tersebut dalam butir 1 yang dibayarkan oleh kontraktor kepada Pertamina, dapat dipotongkan dari penghasilan bruto kontraktor.
- Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diberikan penegasan kepada Pertamina bahwa:
a. Agar penerimaan Indonesia tidak mengalami perubahan sebagai akibat dimasukkannya bonus sebagai
biaya, maka pembayaran bonus-bonus tersebut oleh Kontraktor kepada Pertamina
terlebih dahulu harus di gross up.
b.
Semua bonus yang dibayarkan
oleh kontraktor dimasukkan sebagai bagian dari penghasilan Pertamina.
PER-64/PJ/2009- Penetapan Jumlah
dan Saat Terutang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan
Berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero), Tbk
- Telkom adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Telekomunikasi menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
- Hak Eksklusif Telkom adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia hanya kepada Telkom untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap Sambungan Lokal hingga tahun 2010 dan Sambungan Langsung Jarak Iauh hingga tahun 2005.
- Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom adalah percepatan berakhirnya Hak Eksklusif Telkom, yaitu pada bulan Agustus 2002 untuk jaringan dan jasa telekomunikasi tetap Sambungan Lokal dan bulan Agustus 2003 untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh.
- Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom adalah sebesar Rp 478.000.000.000 (empat riatus tujuh puluh delapan miliar rupiah) setelah pajak (net of tdx) yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. kepada Telkom sehubungan dengan Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom dalam jangka waktu maksimal selama 5 (lima) tahun dimulai tahun 2005.
Perlakuan Perpajakannya
Pasal 2 PER-64/P 1/2009:
1.
Penghasilan berupa
Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom yang harus dibayarkan Pemerintah
kepada Telkom merupakan Objek Pajak.
2.
Penghasilan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui dan terutang pada saat penghasilan tersebut telah
diterima seluruhnya.
3.
Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.
4.
Pajak Penghasilan yang
temtang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah.
5.
Penetapan jumlah Pajak Penghasilan Ditanggung
Pemerintah sebagai' mana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan metode gross
up.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT
Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan
terperinci per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku
pengeluaran/pembelian/penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau
laporan jenis pajak yang lain (baik sebagian maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasa123, jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeIuaran yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 23 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga manyebabkan terbitnya
SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut.
Hal ini disebabkan
karena:
1.
Ditemukannya biayaabiaya
yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib
pajak pemberi kerja
2.
Jumlah PPh Pasal 23 yang
disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang
dipotong oleh wajib pajak
3.
Jumlah PPh Pasal 23 yang
dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa
PPh Pasal 23.
4.
Contoh:
Berikut ini
adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:
- Jumlah PPh
Pasal 23 menurut tax review, bardasarkan
penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek
PPh Pasal 23 Rp
400.000.000
-
Jumlah
PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp
200.000.000
Kekurangan bayar atau setor: PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar
atau setor PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan
lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan
transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah
disetujui. Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang
bayar atau setor PPh Pasal 23 tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi
wajib pajak dari pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan
(Pasal 13 ayat 2 UU KUP).
4. Pajak Penghasilan Pasal 26
Objek pengenaan
PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23. Perbedaannya adalah PPh Pasal 26 ini
dikenakan kepada wajib pajak luar negeri (WPLN). Aspek-aspek yang mempengaruhi
misalnya adalah ratenya. Dalam PPh Pasal 26 ini tarif pemotongan atas
pembayaran kepada WPLN adalah 20 %, dengan memperhatikan ada tidaknya tax
treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Kalau tax treaty nilai
efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%. Kita, sebagai tax planner
harus melakukan treaty shopping, cari rate yang terendah. Ini salah satu
loophole yang bisa dimanfaatkan oleh tax planner untuk PPh Pasal 26 terkait
dengan tax treaty.
Pasal 26 ayat ( 1) d
Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan
Kegiatan
1.
Bila ada Tax Treaty
a.
Jika pemberian jasa oleh
WPLN kurang dari time test (uji waktu): Tidak ada BUT, maka Indonesia tidak
berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN. Syarat: Agar
pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat menunjukkan
atau memberikan Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau Certificate Of
Domicile (COD) dari Competent Authority di negara bersangkutan
b.
Jika Pemberian Jasa oleh WPLN melebihi time
test (uji waktu)
Ada BUT. maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
diterima oleh WPLN bersangkutan, yang
berupa:
·
Corporate Tax (tarif PPh
Pasal 17)
·
Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26)
2. Bila Tidak Ada Tax Treaty
a.
Jika pemberian jasa oleh
WPLN kurang dari time test (uji waktu):
Tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
- basis bruto dan tarif tunggal 20%
b.
Jika pemberian jasa oleh
WPLN melebihi time test (uji waktu):
Ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
- basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh
Bunga Offshore
Ada kasus bank
dalam negeri yang membuka cabang di luar negeri. Mereka membuka cabang di tax
heaven country, katakanlah Cook Island. Di sana penghasilan bank bebas pajak,
sehingga banyak perusahaan membuka cabang luar negeri di sana, berharap dana
offshore yang kemudian disalurkan ke dalam negeri.
Dalam keadaan normal, jika bank membayar bunga akan dikenai PPh Pasal 26
yang tarifnya tergantung pada tax treatynya. Di Cook island kita bisa membuat
bank yang resmi secara dokumen, tapi secata faktual banknya ada di Indonesia.
Sekarang permasahannya, bagaimana cara memungut PPh Pasal 26nya? Kalau dibilang
kriminal, buktinya ada negara yang memperbolehkan. Tapi kalau dibilang bukan
kriminai, orang luar negeri kenapa ada di Jl. Thamrin Jakarta?
PPh Pasal 23 dan 26, kapan saat terutangnya? Saat dibayarkan akan
terutang pajak. Yang jadi masalah adalah terutang menurut pembukuan. Pembukuan
menggunakan accrual consept, asal sudah dibebankan sebagai biaya, harus membayar
PPh Pasal 26. Kalau sekarang trendinya adalah kurs. Seorang tax planner harus
memprediksi trend kurs ini naik atau turun. Kalau trend kurs-nya naik menjadi
Rp 15.000 dan katakanlah jatuh temponya bulan Februari tahun depan. Tax planner
akan berusaha membebankan pada bulan Desember tahun ini, supaya dia membayar
PPh Pasal 26 nya Iebih dulu atau sekarang dengan kurs yang lebih rendah.
Kebalikannya kalau trend kursnya menurun, membayarnya beIakangan saja. Itulah
shifting from one period to another, atau kalau dalam literatur istilahnya
mendeferal atau menangguhkan.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26
PPh Pasal 26
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak Iuar negeri
yang menerima penghasilan. dari Indonesia.
Pengenaan PPh
Pasal 26 tersebut adalah:
1.
Dikenakan sebesar 20% dari
jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN yang berupa:
a.
Bunga, dividen, royalti,
sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
b.
Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi PPh dari suatu BUT, kecuali ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat:
1)
Penanaman kembali dilakukan
atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan daiam
bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
2)
Perusahaan baru yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a,
harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya,
paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan.
3)
Penanaman kembali dilakukan
dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
4)
Tidak melakukan pengalihan
atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka waktu 2 (dual) tahun Sesudah
perusahaan baru tersebut telah berproduksi komersial.
(Lihat PMK No.25 7/PMK.O3/2008)
2.
Dikenakan sébesar 20% dari
perkiraan penghasilan neto Clan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa:
a.
Penghasilan dari penjualan
harta di Indonesia (20% x 25% x harga jual).
b.
Premi asuransi yang
dibayarkan ke luar negeri:
1)
Premi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh tertanggung (20% X 50%
jumlahpremi)
2)
Premi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia (20% X 10% X jumlah premi).
3)
Premi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di
Indonesia (20% X 5% X jumlah premi).
Tabel IV-4
Objek PPh Pasal 26
Apabila transaksi yang terjadi adalah antara penduduk Indonesia dengan
penduduk negara lain yang telah memiliki tax treaty, maka ketentuan yang
digunakan mengacu pada ketentuan tax treaty.
Agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty. WPLN harus dapat
menunjukkan dan memberikan Certificate of Residence Taxpayer (CRT) atau
Certificate of Domicile ( COD) , atau surat keterangan domisili pembayar pajak
dari competent authority di negaranya.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak
Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang Ditanggung oleh Pemberi
Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,
kecuali:
a. Pajak atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak
termasuk dividen.
b. Sepanjang
Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak.
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh pasal
26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja.
·
Dalam hal PPh Pasal 21
ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja. sesuai dengan ketentuan
perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai
bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
·
Pajak Penghasilan yang
terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) kecuali
dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (grossmp) pada penghasilan yang
dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh-1 :
PT ABC membayar
bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp100.000.000 yang sesuai
dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan
PPh Pasal 26 =
100/80 x Rp
100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26
yang terutang =
20% x Rp
125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya
bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC adalah
Rp 125.000.000
(=Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).
Contoh-2:
(Private ruling - Surat Dirjen Pajak No. S 1149/PJ/312/2004)
Atas penerbitan
global bonds senilai 1.000.000.000 dolar AS dengan tingkat bunga (kupon) tetap
sebesar 6,75% semi annually (dibayar setiap. tanggal 10 Maret dan 10 September)
dan akan jatuh tempo pada tanggal 10 Maret 2014 (10 tahun) yang ditujukan bagi
para investor yang ber! kedudukan di luar negeri.
Pertanyaannya:
Bagaimana perlakuan perpajakan obligasi negara dalam valuta asing tersebut?
Jawab:
Tetap dapat
dikenai Pajak Penghasilan dengan metode gross up. Pengenaannya dengan melakukan
gross up terhadap pembayaran bunga tersebut. Dalam bunga yang dibayarkan sudah
termasuk Pajak Penghasilan Pasal 26, tergantung tarif yang berlaku, apakah
sesuai dengan Pasal 26 UU PPh atau dengan P3B, apabila ada P3B antara lndonesia
dengan negara pembeli.
Contoh
penghitungan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut:
TABELL
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada
SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 26
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 25, jumlah penghasilan
bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci
per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal
26.
Dalam banyak kasus. terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 26 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) yang menyebabkan terbitnya SKP
Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. disebabkan:
1. Ditemukannya
biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 26 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh
Pasal 26 yang disetorkan ke Kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari
jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh
Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan
SPT PPh Masa PPh Pasal 26.
Ekualisasi harus dibuat secara rinci dari seluruh pos atau akun
pengeluaran biaya yang ada di Laporan Keuangan/buku besar/ledger yang
seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal 26 dibandingkan dengan Jumlah yang
telah dipotong menurut SPT Masa PPh Pasal 26.
Contoh:
Rekapitulasi
dari hasil Ekualisasi:
- Jumlah PPh
Pasal 26 menurut tax review, berdasarkan
penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek
PPh Pasal 26 Rp 600.000.000
- Jumlah PPh Pasal 26 menurut SPT Musa PPh
Pasal 26 Rp 300.000.000
Kekurangan bayar
setor PPh Pasal 26 Rp
300.000.000
Ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau
setor PPh Pasal 26 sebesar Rp 300.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih
lanjut oleh wajib pajak terhadap buktifbukti pendukung dan transaksi-transaksi
apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar
atau setor PPh Pasal 26 tersebut hanya akan menambah bahan tambahan bagi wajib
pajak dari pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal
13 ayat 2 UU KUP).
4. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tarif 0.1%. Final
itu secara prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi?
jadi menjual obligasi, secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar
pajaknya lebih banyak (pajak bunga 15%). Bursa pasar modal berusaha agar
obligasi diperlakukan sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah. Usaha
mereka berhasil dengan dikeluarkannya PP 16 Tahun 2009 yang berlaku efektif 1
Januari 2009. Dengan demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh
Final tetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan
kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008
Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang
Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah; bunga dan
atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara
gradual dikenai PPh Pasal 4(2) Final sebagai berikut:
1. 0% (nol
persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2C10.
2. 5% (lima
persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3. 15% (lima
belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan
tarif bunga di atas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana
dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek.
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
* Pengenaannya
diatur khusus dengan peraturan pemerintah.
* Penghasilan
yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya
(dianggap selesai/rampung).
* Jumlah PPh
final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh
* Biaya - biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final tidak
dapat dikurangkan.
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):
1.
Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara
2. Penghasilan
dari transaksi peniualan saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di Bursa Efek
3. Bunga
deposito dan tabungan, serta diskonto SBI
4. Penghasilan
berupa hadiah atas undian
5. Penghasilan
atas sewa tanah dan/atau bangunan
6. Penghasilan
dari usaha jasa konstruksi
7. Penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
8. Dividen yang
diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
9. Bunga
dan/atau diskonto obligasi dan surat berharga negara (SBN)
10. Bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
11. Penghasilan
atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri
12. Penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu
1. Diskonto atau bunga obligasi yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek (PP No. 6 Th
2002)
Yang dimaksud dengan obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek adalah obligasi korporasi dan obligasi pemerintah
atau surat utang negara berjangka lebih dari satu tahun, yang diperdagangkan
dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek indonesia.
Tarif pemotongan PPh:
• 20% bagi WPDN
dan BUT.
• 20% atau
sesuai tarif dalam P3B, bagi wajib pajak penduduk atau yang berkedudukan di
luar negeri.
Dasar pengenaan
pemotongan PPh:
• Bunga obligasi
dengan kupon: jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
• Diskonto
obligasi dengan kupon: selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi, tidak termasuk kupon berjalan.
• Diskonto
obligasi tanpa bunga: selisih lebih harga iual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi.
Pengecualian aturan:
• Pemotongan PPh
tidak bersifat final apabila penerima penghasilan adalah orang pribadi dalam
negeri, yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan diskonto
obligasi tersebut dalam satu tahun pajak tidak melebihi jumlah PTKP (bisa
direstitusi).
• Tidak
dilakukan pemotongan jika penerima penghasilan adalah:
1. Bank yang
didirikan di lndonesia atau cabang bank luar negeri di indonesia.
2. Dana pensiun
yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
3. Reksadana
yang terdaftar pada Bapepam selama lima tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian izin usaha.
2. Penghasilan dari Transaksi Penjualan
Saham di Bursa Efek (PP 411199410. PP 1411997)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Besarnya Pajak
Penghasilan:
a. 0,1% (satu
per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.
b. saham pendiri
dikenai tambahan PPh sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai saham perusahaan
pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1995.
c. Dalam hal
saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, nilai
saham sebagai dasar pengenaan tarif O,5% ditetapkan sebesar harga saham pada
saat penawaran umum perdana.
3. Bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI (PP 131 /2000)
• Tarif yang
dikenakan adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
• Termasuk dalam
pengertian bunga adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito atau
tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
berkedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
• Dikecualikan
dari pemotongan ini:
- Bunga dan
deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia (SBI) sepanjang
jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 dan
bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
- Bunga dan
diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
- Bunga deposito
dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh
dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU No. 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
- Bunga tabungan
pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan
sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian
(PP 132/2000)
• Besarnya PPh
yang wajib dipotong atau dipungut adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah bruto hadiah undian.
• Yang wajib
memotong atau memungut PPh adalah penyelenggara undian.
5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau
bangunan (PP 29/1996 jo PP 5/2002)
• Sewa tanah dan
bangunan yang dimaksud adalah: Tanah, rumah susun, apartemen, kondominium,
gedung kantor, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, industri
• Tarif
pemotongan PPh: Bagi orang pribadi dan badan adalah 10% dari jumlah bruto.
6. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP
N0. 51 Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 PP No 40 Tahun 2009,
namun berlaku sejak Januari 2008. Dengan terbitnya PP No. 51 Tahun 2008 ini,
atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, dikenai PPh Final.
Tabel lV-5
Tarif PPh atas
Jasa Konstruksi (PPh Final)
Penyedia jasa
adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif PPh tersebut tidak temasuk PPh atas sisa
laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Gambaran
mengenai usaha jasa konstruksi ini dapat dilihat dari tulisan yang dimuat di
majalah Indonesian Tax Review berikut ini.
7. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan atau Bangunan (PP 48/1994 jo PP 71/2008)
a. Objek PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan
atau Bangunan (PPh PHTB)
Atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan wajib dibayarkan Pajak Penghasilan. Ruang lingkup
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
1)Penjualan,
tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain
pemerintah.
2) Penjualan,
tukar-menukar. pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
3) Penjualan,
tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah
guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus.
b. Tarif
1) 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
2) Atas
pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan
oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan.
c. Sifat
Pembayaran PPh
PHTB oleh siapa pun (baik WPOP, yayasan, badan termasuk yang main business-nya
mengalihkan tanah dan atau bangunan) bersifat final.
a. Pengecualian
Objek PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan:
1) Orang pribadi
yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dengan jumlah bruto kurang dari Rp 60.000.000 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
2) Orang pribadi
atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan kepada pemerintah.
3) Orang pribadi
yang melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan dengan cara hibah kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan. badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemlikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
4) Badan yang
melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan dengan cara hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi. atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak
ada hubungan dengan usaha. pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
5} Pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan karena warisan. PP No. 71/2008 berlaku mulai
01 Januari 2009.
8. Dividen yang diterima atau diperoleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Peraturan: pelaksanaan ketentuan perpajakan yang nerkait dengan dividen
yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dimuat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
serta Peraturan Menkeu No.111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
• Atas
penghasilan berupa dividen (dengan nama dan dalam bentuk apa pun temasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final.
• Pajak
Penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pemotongan
dilakukan pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan.
9. Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan
Surat Berharga Negara (SBN); (PP No 16 tahun 2009 Jo. PMK No. 85/PMK03/2009)
Bunga dan
Diskonto Obligasi
• Obligasi
adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan, Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan atau
diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan atau diskonto).
• Atas
penghasilan yang diterima dan atau diperoleh wajib pajak berupa bunga obligasi,
dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat ' anal.
Ketentuan
dimaksud tidak berlaku apabila pene.ima penghasilan berupa bunga obligasi
adalah:
1. Wajib Pajak
dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf h UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan.
2. Wajib Pajak
bank yang didirikan di Indonesia atau Cabang bank luar negeri di Indonesia.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. Bunga dari
obligasi dt ngan kupon sebesar:
1) 15% (lima
belas persen) bagi wajib palak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua
puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran
pajak berganda bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari
jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
b. Diskonto dari
obligasi dengan kupon sebesar:
I) 15% (lima
belas persen) bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua
puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran
pajak berganda bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari
selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi,
tidak termasuk bunga berjalan.
c. Diskonto dari
Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% (lima
belas persen) bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua
puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan penerima penghindaran pajak
berganda bagi wajib pajak luar negeri, selain bentuk usaha tetap, dari selisih
lebih harga jual atau
d. Bunga dan atau
diskonto dari obligasi yang diterima dan atau dipegang oleh wajib pajak
reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebesar:
1) 0% (nol
persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
2) 5% (lima
persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3) 15% (lima
belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Pemotongan Pajak
Penghasilan dilakukan oleh:
a. Penerbit
obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan
atau diskonto yang diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh
tempo bunga obligasi dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga
pada saat jatuh tempo Obligasi.
b) Perusahaan
efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan atau pembeli. atas bunga
dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi.
Surat Berharga Negara
• Pajak
Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat
berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional, ditanggung oleh
pemerintah.
• Pajak
Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang
diberikan kepada pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara di pasar
internasional ditanggung oleh pemerintah.
• Penerbitan di
pasar internasional adalah kegiatan penawaran dan penjualan surat berharga
negara dalam valuta asing di luar wilayah indonesia.
10. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh
Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi (PMK No. 85/PMK.0312008)
• Atas
penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan
di Indonesia kepada anggota keperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
Besarnya Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a. 0% (nol
persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per
bulan.
b. 10% (sepuluh
persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp 240.000 per bulan. • Pajak Penghasilan wajib dipotong oleh koperasi
yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi
pada saat pembayaran.
11. Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Waiib Pajak Badan atau WPOP yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu (PP 46/2013)
• Wajib pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi
kriteria sebagai berikut: i) Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan
tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan ii) menerima penghasilan dari usaha,
tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun pajak.
• Tidak termasuk
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau
jasa yang dalam usahanya, yakni: i) menggunakan sarana atau prasarana yang
dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan ii)
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
• Tidak termasuk
wajib pajak badan adalah: i) Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara
komersial; atau ii) Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00.
• Besarnya tarif
Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
• Pengenaan
Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dan Usaha dalam I (satu)
tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
Analisis Ekuallsasl Objek PPh Pasal 4 Ayat
2 (Final) pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)
Dalam melakukan
ekuallsasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat ( 2), jumlah penghasilan bruto dalam SPT
Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4
Ayat ( 2).
Dalam banyak
kasus, terjadl pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2(
Final) yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya
SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya
biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang belum dilakukan
pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak
3. Jumlah PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak
cocok dengan SPT PPh Masa Pasal 4 ayat 2 (Final).
Ekualisasi harus
dibuat secara rinci dari seluruh pos dan akun pengeluaran lama yang ada di
laporan kcuangan/buku besar/ledger yang seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal
4 ayat (2) dibandingkan dengan jumlah yang telah dipotong menurut SPT Masa PPh,
PPh Pasal 4 ayat (2)
Contoh:
Rekapitulasi
dari hasil ekualisasi:
- Jumlah PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) menurut tax review, berdasarkan penjumlahan transaksi
dari keseluruhan objek PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) Rp 900.000.000
- Penjumlahan menurut
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final)
Rp 500.000.000
- Kekurangan
bayar/setor PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) Rp 400.000.000
Hasil ekualisasi
mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 4 ayat 2
(Final) sebesar Rp 400.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut
oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa
saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.
Tentu saja
kelalaian atau keterlambatan penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal 4
ayat 2 (Final) tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak
dari pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13
ayat 2 UU KUP).
5. PPh Pasal 15
Merupakan PPh
yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau deemq profit,
yang meliputi:
1. PPh atas sewa
pesawat udara dalam negeri. tarif pajaknya 1.8% dari peredaran bruto dan
bersifat tidak final.
2. PPh Final
Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto
bersifat final
3. PPh Final
Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar negeri, tarif pajaknya 2,64% dari
peredaran bruto bersifat final.
4. PPh Final
atas Wajib Pajak Luar negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia,
tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan
neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran "minyak dan gas bumi,
tarifnya 14% dari peredaran bruto, bersifat final
Tabel IV.6
Objek PPh Pasal
15
6. Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh
Final
Dalam praktik,
kewajiban memotong. menyetor. dan melaporkan PPh sesuai mekanisme withholding
tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya
perluasan objek withholding tax sejak tahun 2000.
Beberapa hal
krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
1. Masalah Pembuatan Kontrak
Pada transaksi
yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus diperhatikan
adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada dapat
digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja). atau PO (Purchase Order). Oleh
karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan
yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Jika di dalam
kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya; maka PPh Pasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa
konstruksi dan jasa katering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, Jika di
dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dan nilai material. maka
PPh Pasal 23 dikenakan atm keseluruhan nilai kontrak.
Di samping itu
juga harus terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak agar
dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran. Makin
jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan
mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah “Ingat
withholding tax, ingat kontrak."
2. Konflik dalam withholding tax
Jika perusahaan
memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut withholding tax,
maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini
sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima
penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran
mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya
konflik ini juga sering terjadi antara bagian keuangan atau pajak dengan bagian
lain dalam satu perusahaan.
Oleh karena
kewajiban pemotongan penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan
maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi
jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan
dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak
yang terutang (PPh ditanggung) atau melakukan gross up atas nilai kontrak
(diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang
terutang. maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu pimpinan
perusahaan melakukan gross up maka pajak yang terutang boleh dibayarkan kecuali dividen, dan PPh Final. Grosss up
sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang
terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.
3. Rekonsiliasi objek withholding tax
dengan laporan keuangan
Kewajiban wajib
pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder) perlu
mendapat perhatian serius dari perusahaan oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan ( tax control) Untuk memastikan bahwa seluruh objek
withholding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya.
Caranya adalah
melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang
terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini
terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat
langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun. akun yang di dalamnya hanya
terdapat sebagian saja yang merupakan objek widholding tax, maka perlu
dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek withholding tax.
Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek
withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal
transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa
pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
4. Klausul Kontrak dengan WPLN
Di samping harus
mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci, khusus kontrak dengan pihak
Wajib Pajak Luar negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
• Negara asal
WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada
ketentuan tax treaty atau tidak.
• Jika kontrak
dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu diperhatikan agar WPLN
memberikan CRT (certificate of residence taxpayer) kepada perusahaan sebelum
dilakukan pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak
dengan WPLN tersebut.
3. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25
Orang Pribadi
Sesuai PerMenkeu
No. 255/PMK.O3/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk wajib
pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha
tertentu adalah "wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha
tersebar di beberapa tempat Ref. Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/ZOO9), ditetapkan sebesar
0,75 % (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak
masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan
membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan
keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal Z3 serta Pasal 24 yang dibayar
atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua
belas).
Hanya karena
kealpaan tax planner yang tidak menghitung atau merencanakan angsuran PPh Pasal
25 dengan benar, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu
yang mestinya didasarkan pada laporan keuangan berkala, akan bisa berimplikasi
pada timbulnya lebih bayar pajak pada SPT Tahunan PPh Badan yang ujung-ujungnya
akan mengakibatkan perusahaan menghadapi pemeriksaan pajak oleh fiskus.
Dampaknya tax planning harus disesuaikan kembali karena "terganggu” oleh
pemeriksaan pajak (bila efeknya signifikan terhadap jumlah pajak yang harus
dibayar perusahaan).
1 Comments
Pemotongan dan pemungutan PPh merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak. Namun, untuk wajib pajak yang memiliki kondisi khusus dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan pemungutan PPh kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-21/PJ/2014. Pada pembahasan kali ini akan dibahas apa saja ketentuan dan bagaimana cara mengajukan pembebasan pemotongan dan pemungutan PPh. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1312/pengajuan-pembebasan-pemotongan-pemungutan-pph/
ReplyDelete